Jumat, 25 Maret 2011

Biography Gus dur

Biodata dan Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid.
Mantan Presiden Republik Indonesia

Perjalanan seorang guru besar bangsa Abdurrahman Wahid patut untuk kita teladani.Meskipun telah wafat,jasa-jasanya akan selalu dikenang bangsa ini.Berikut adalah sedikit Profil,Biodata,serta Riwayat Hidup Gusdur.

Kyai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 adalah tokoh Muslim
Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang
keempat dari tahun 1999 hingga 2001. Ia menggantikan Presiden B. J.
Habibie setelah dipilih oleh MPR hasil Pemilu 1999. Penyelenggaraan
pemerintahannya dibantu oleh Kabinet Persatuan Nasional. Masa
kepresidenan Abdurrahman Wahid dimulai pada 20 Oktober 1999 dan
berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Tepat 23 Juli 2001,
kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah
mandatnya dicabut oleh MPR. Abdurrahman Wahid adalah mantan ketua Tanfidziyah (badan eksekutif) Nahdlatul Ulama dan pendiri Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Kehidupan Masa Kecil
Abdurrahman Wahid lahir pada hari ke-4 dan bulan ke-8 kalender Islam tahun 1940 di Denanyar Jombang, Jawa Timur dari pasangan Wahid Hasyim
dan Solichah. Terdapat kepercayaan bahwa ia lahir tanggal 4 Agustus,
namun kalender yang digunakan untuk menandai hari kelahirannya adalah
kalender Islam yang berarti ia lahir pada 4 Sya’ban, sama dengan 7
September 1940.
Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”.Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah
panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang
berati “abang” atau “mas”.
Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU),
sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar
pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur,
K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi
Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri
pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang.
Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan bahwa ia memiliki darah Tionghoa. Abdurrahman Wahid mengaku bahwa ia adalah keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok, saudara kandung Raden Patah (Tan
Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini
merupakan anak dari Putri Campa, puteri Tiongkok yang merupakan selir
Raden Brawijaya V.Tan Kim Han sendiri kemudian berdasarkan penelitian
seorang peneliti Perancis, Louis-Charles Damais diidentifikasikan
sebagai Syekh Abdul Qodir Al-Shini yang diketemukan makamnya di
Trowulan.
Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan
tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi
kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke
Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia
melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta
dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar
di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari.
Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh
ayahnya untuk memperluas pengetahuannya. Gus Dur terus tinggal di
Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri
agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia
akibat kecelakaan mobil.
Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya. Pada
tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk
memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan
reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren
dalam waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid
pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara
melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima
pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah
madrasah. Gus Dur juga dipekerjakan sebagai jurnalis majalah seperti
Horizon dan Majalah Budaya Jaya.

Pendidikan Luar Negeri
Pada tahun 1963, Wahid menerima beasiswa dari Kementrian Agama untuk belajar di Universitas Al Azhar di Kairo, Mesir. Ia pergi ke Mesir pada
November 1963. Meskipun ia mahir berbahasa Arab, Gus Dur diberitahu
oleh Universitas bahwa ia harus mengambil kelas remedial sebelum
belajar Islam dan bahasa Arab. Karena tidak mampu memberikan bukti
bahwa ia memiliki kemampuan bahasa Arab, Wahid terpaksa mengambil kelas
remedial.
Abdurrahman Wahid menikmati hidup di Mesir pada tahun 1964; menonton film Eropa dan Amerika, dan juga menonton sepak bola. Wahid juga terlibat dengan Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis majalah
asosiasi tersebut. Pada akhir tahun, ia berhasil lulus kelas remedial
Arabnya. Ketika ia memulai belajarnya dalam Islam dan bahasa Arab tahun
1965, Gus Dur kecewa. Ia telah mempelajari banyak materi yang diberikan
dan menolak metode belajar yang digunakan Universitas.
Di Mesir, Wahid dipekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia. Pada saat ia bekerja, peristiwa Gerakan 30 September terjadi. Mayor Jendral Suharto menangani situasi di Jakarta dan upaya pemberantasan Komunis
dilakukan. Sebagai bagian dari upaya tersebut, Kedutaan Besar Indonesia
di Mesir diperintahkan untuk melakukan investigasi terhadap pelajar
universitas dan memberikan laporan kedudukan politik mereka. Perintah
ini diberikan pada Wahid, yang ditugaskan menulis laporan.
Wahid mengalami kegagalan di Mesir. Ia tidak setuju akan metode pendidikan serta pekerjaannya setelah G 30 S sangat mengganggu dirinya.Pada tahun 1966, ia diberitahu bahwa ia harus mengulang
belajar.Pendidikan prasarjana Gus Dur diselamatkan melalui beasiswa di
Universitas Baghdad.Wahid pindah ke Irak dan menikmati lingkungan
barunya. Meskipun ia lalai pada awalnya, Wahid dengan cepat belajar.
Wahid juga meneruskan keterlibatannya dalam Asosiasi Pelajar Indonesia
dan juga menulis majalah asosiasi tersebut.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Universitas Baghdad tahun 1970, Abdurrahman Wahid pergi ke Belanda untuk meneruskan pendidikannya. Wahid ingin belajar di Universitas Leiden, tetapi kecewa
karena pendidikannya di Universitas Baghdad kurang diakui.Dari Belanda,
Wahid pergi ke Jerman dan Perancis sebelum kembali ke Indonesia tahun
1971.

Karir Awal
Gus Dur kembali ke Jakarta mengharapkan bahwa ia akan pergi ke luar negeri lagi untuk belajar di Universitas McGill di Kanada. Ia membuat
dirinya sibuk dengan bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan
Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi yg terdiri dari kaum
intelektual muslim progresif dan sosial demokrat. LP3ES mendirikan
majalah yang disebut Prisma dan Wahid menjadi salah satu kontributor
utama majalah tersebut. Selain bekerja sebagai kontributor LP3ES, Wahid
juga berkeliling pesantren dan madrasah di seluruh Jawa. Pada saat itu,
pesantren berusaha keras mendapatkan pendanaan dari pemerintah dengan
cara mengadopsi kurikulum pemerintah. Wahid merasa prihatin dengan
kondisi itu karena nilai-nilai tradisional pesantren semakin luntur
akibat perubahan ini. Gus Dur juga prihatin dengan kemiskinan pesantren
yang ia lihat. Pada waktu yang sama ketika mereka membujuk pesantren
mengadopsi kurikulum pemerintah, pemerintah juga membujuk pesantren
sebagai agen perubahan dan membantu pemerintah dalam perkembangan
ekonomi Indonesia. Wahid memilih batal belajar luar negeri dan lebih
memilih mengembangkan pesantren.
Abdurrahman Wahid meneruskan karirnya sebagai jurnalis, menulis untuk majalah Tempo dan koran Kompas. Artikelnya diterima dengan baik dan ia mulai mengembangkan reputasi sebagai komentator sosial. Dengan
popularitas itu, ia mendapatkan banyak undangan untuk memberikan kuliah
dan seminar, membuat dia harus pulang-pergi antara Jakarta dan Jombang,
tempat Wahid tinggal bersama keluarganya.
Meskipun memiliki karir yang sukses pada saat itu, Gus Dur masih merasa sulit hidup hanya dari satu sumber pencaharian dan ia bekerja untuk mendapatkan pendapatan tambahan dengan menjual kacang dan
mengantarkan es untuk digunakan pada bisnis Es Lilin istrinya. Pada
tahun 1974, Wahid mendapat pekerjaan tambahan di Jombang sebagai guru
di Pesantren Tambakberas dan segera mengembangkan reputasi baik. Satu
tahun kemudian, Wahid menambah pekerjaannya dengan menjadi Guru Kitab
Al Hikam.
Pada tahun 1977, Wahid bergabung ke Universitas Hasyim Asyari sebagai dekan Fakultas Praktek dan Kepercayaan Islam. Sekali lagi, Wahid mengungguli pekerjaannya dan Universitas ingin agar Wahid
mengajar subyek tambahan seperti pedagogi, syariat Islam dan misiologi.
Namun, kelebihannya menyebabkan beberapa ketidaksenangan dari sebagian
kalangan universitas dan Wahid mendapat rintangan untuk mengajar
subyek-subyek tersebut. Sementara menanggung semua beban tersebut,
Wahid juga berpidato selama ramadhan di depan komunitas Muslim di
Jombang.